A b a d i

aku melihatmu.

Kamu berbaring di situ, lemah dan rapuh.  Seperti sudah mati. Tapi aku selalu memastikan bahwa secara biologis kamu masih hidup. Nafasmu masih bisa kurasakan.  Wajahmu semakin tirus dengan lekukan mata yang semakin mengecil. Tubuhmu bagaikan onggokan tulang belulang yang kurasa, jika tertiup angin sedikit saja, tubuh itu akan melanting terbawa angin.

“Ini hari apa?” itu selalu yang kamu tanyakan padaku, setiap harinya. Kamu berusaha membuka mata, perlahan –lahan. Dan aku melihat bola matamu yang hitam semakin kehilangan cahaya.

“Ini hari kamis. Jangan buka matamu dulu, jangan cepat –cepat”aku selalu khawatir bahwa sinar yang terlalu terangpun akan menyakitinya.

“Oh, masih kamis? Bukankah kemarin juga kamis? Kenapa setiap hari aku merasakan hari yang sama?”tanyamu dengan parau.

 

aku berusaha tersenyum. Aku tidak boleh memperlihatkan sedikitpun kesedihan padamu. “Itu karena hari –hari memang cepat sekali berganti sehingga sepertinya tidak berganti sama sekali”

“Begitu”aku merasakan tatapanmu yang sedih. Jangan, kumohon jangan menatapku seperti itu lagi. Aku menghabiskan berhari –hari untuk menahan air mata setiap melihatmu, dan hanya butuh satu detik untuk akhirnya mengalah pada air mata itu, saat melihat matamu. Aku menghabiskan berjam –jam untuk bersimpuh di sisi tubuhmu, memohon pada Tuhan agar sedikit saja memindahkan rasa sakitmu padaku. Agar bisa kuberikan separuh saja n yawaku untukmu, atau bahkan untuk memberikan setengah hidupku, untukmu.

Tapi nyatanya, aku tak bisa berbuat apapun. Hanya kamu saja yang bisa merasakannya. Hanya tubuhmu saja.

“mau kubukakan jendela? Langit cerah sekali di luar. Udara pun sangat segar”tanyaku. Aku selalu yakin bahwa matahari dan udara bisa membuatmua hidup lama –yah, setidaknya aku berharap demikian. Walaupun itu sama sekali tidak terjadi.

“Boleh”

Aku membuka jendela sedikit. Dan seberkas garis masuk ke dalam kamar, memantul  pada wajahmu, membentuk satu guratan mengerikan. Semestinya itu indah. Rambutmu berkemilau dan berurai di sekeliling bahumu. Wajahmu terlalu putih karena lama tidak tersentuh cahaya matahari. Saat cahaya itu menimpamu, matamu mengerjap –ngerjap karena silau.  Bibirmu kering dan pucat seperti platina. Jari –jarimu seolah menyusut, bahkan akupun tak bisa merasakan hangatnya lagi.

Tetapi, itu gambaran kecantikan yang berbeda. Kamu cantik, seperti apapun adanya. Setidaknya, di hatiku kamu tetap begitu.

“Bagaimana perasaanmu sekarang? Lihat, sepertinya kamu makin membaik”aku terpaksa berbohong. Sebenarnya aku tak mau melakukannya lagi, tapi aku tak tahu lagi apa yang harus dilakukan selain mengatakan bahwa dari hari ke hari aku melihatmu makin membaik. Dan kamu mustahil percaya. Aku tahu, kamu lebih tahu mengenai kondisimu sendiri, dan aku kadang merasa amat bodoh.

Kamu tersenyum miris. “Terima kasih, karena kamu selalu berusaha membuatku senang. Tapi kelak aku tak akan bisa membalas semua kebaikanmu”

“Itu tak perlu”

“Aku tak bisa membedakan lagi apakah aku sedang sakit atau tidak. Rasanya sama saja. Jadi aku tak tahu apakah harus mengatakan bahwa aku tak apa –apa, atau bagaimana. Rasanya tak ada bedanya…aku hanya tahu bahwa aku sedang sakit. Tapi kamu tak perlu khawatir lagi kan?”

Aku ingin menangis. Bagaimana aku bisa tidak khawatir? Sebentar lagi, yah, waktu yang ada semakin menipis, dan pada saatnya nanti aku tak akan bisa melihatmu lagi. Aku tak tahu harus berbuat apa. Rasanya aku sudah kehabisan rasa sedihku.

Beberapa waktu yang lalu sebelum semua ini dimulai, kamu adalah ksatria dewi yang selalu semangat menyambut awal hari kehidupanmu. Penuh senyum, selalu bercanda, dan selalu dengan tulus mendengarkan orang lain. Apakah dunia terlalu buruk untuk orang seperti dirimu sehingga Tuhan ingin bertemu denganmu begitu cepat, dan mengangkatmu dari dunia tua yang semakin ringkih ini? Apakah Tuhan begitu sayang sehingga kamu dikembalikan pada tempat seharusnya kamu berada, bukan berada di sini, di dekatku?

Lihatlah, hujan hari ini. Ada beberapa waktu manis yang kita lewatkan pada saat hujan. Dan pada saatnya hujan kembali datang, aku pasti akan melihatmu lagi. Wajahmu terpantul pada setiap titik hujan, karena kamu begitu mencintai hujan.

Semua seolah menjadi petaka saat dokter memvonis waktu hidupmu. Menurutnya kamu tidak akan bisa hidup lebih dari setahun karena kanker darah yang telah menggerogoti tubuhmu –yang sayangnya terlambat terdeteksi. Apakah kamu percaya ucapan dokter itu? Bukankah kita tak pernah percaya? Karena yang menentukan waktu hidup kita hanya Tuhan. Dan dokter bukanlah Tuhan, jadi kita tak perlu takut padanya.

Aku tak pernah takut, kamu tahu itu. Sebab kita semua akan mati, bukankah begitu? Dan hanya Tuhan yang bisa berbuat dalam kematian kita. Aku tak pernah takut –pada awalnya. Tapi, setelah sekian lama waktu berlalu, dan kamu semakin lemah seperti sekarang, tiba –tiba aku mulai takut. Ah, benarkah waktu itu akan tiba –dan dokter keparat itu memberitahukannya padamu? Tidak. Dia bukan siapa –siapa. Jika pun kamu mati, atau aku yang mati, itu bukan berarti dokter menjadi benar bukan? Tetaplah Tuhan yang menentukan untuk mengambilmu pada hari yang tak kita ketahui.

Sudahlah. Lupakan itu. Mari kita mengingat hujan saja. Aku akan menunjukkan hujan yang indah padamu, dan cerita –cerita yang sering kita dengar pada masa kecil. Lihatlah, bukankah lebih baik jika kamu banyak tersenyum saat ini?

Kusentuh tangan ringkihmu,  berharap ada kekuatanku yang mengalir padamu. “kamu baik sekali padaku”katamu. Selalu itu yang kamu katakan. “Terima kasih, ya”.

“Maafkan aku…”aku tak kuasa menahan air mata. Aku menjadi seorang yang cengeng. Aku mengutuki kelemahanku. Tapi walau bagaimanapun, aku manusia. Aku hanyalah manusia, yang nantipun mati juga. Hanya masalah waktu. Dan waktu tidak memberikan lagi kesempatan bagiku untuk bersamamu, padahal aku ingin. Pernah aku ingin memberikan janji, saat kau terseok –seok menerima keputusan menyakitkan tentang calon suamimu yang pergi karena penyakitmu itu. Karena kamu memintanya untuk pergi walau mencintainya. Karena kamu berpikir bahwa kamu harus realistis tentang masa depan yang sudah tidak ada lagi untukmu. Aku tahu kamu terluka, dan aku ingin menyembuhkannya. Aku pegang tanganmu, dan kutawarkan janji untuk terus bersama sampai ketika kamu memang harus pergi. Tetapi waktu itu kamu tidak menangis, dan kamu melepaskan tanganku sambil berkata, “jangan memberikan mimpi. Itu terlalu utopia bagi kita. Apakah kamu pikir kita akan bahagia? Seperti dongeng yang sering kita lihat, dan kita akan terus bersama sampai akhir? Tidak ada pilihan seperti itu. Hiduplah dalam kenyataan, karena aku juga ingin begitu”

“Tapi aku tidak peduli apapun keadaanmu, aku ingin menjagamu dan mencintaimu”

Kamu tersenyum kecil, “terima kasih. Tapi aku peduli padamu”

“Aku ingin memastikan kau akan tetap baik –baik saja”

“Pada kenyataannya aku tidak baik –baik saja. Tapi aku sangat senang karena mendapatkan begitu banyak cinta yang bahkan aku sendiri mungkin tak sanggup menerimanya sendirian. Kau telah menjagaku, kau telah mencintaiku. Bagiku itu lebih berharga dari apapun”

“bersemangatlah terus. Bersemangatlah…masa depan itu belum pasti”

“Iya, belum pasti. Jadi mari kita tetap hidup”dan pada hari –hari setelah itu kamu tetap hidup dengan baik. Lalu pada hari yang lebih lama dari itu, kondisimu semakin lemah. Perlahan –lahan. Terlalu lama waktunya. Kamu menikmati setiap momennya. Sehingga kita melupakan semua kekhawatiran masa depan itu. Dan tibalah hari dimana kamu menjadi seperti sekarang. Berapa tahun kita telah melupakannya? Tidak lama, bukan? Tapi itu tak pernah cukup karena kita amat senang hidup.

****

Pada suatu hari aku melihat hujan yang indah. Aku lakukan semua yang sering kulakukan setiap hari –bahkan kini aku merasa bahwa itu adalah bagian dari hari –hariku juga. Bagian dari hidupku, dimana aku membuka jendelamu setiap pagi, mengucapkan selamat pagi, menatap matamu, dan mendengarkan cerita –ceritamu yang selalu sama. Mungkin akan membosankan pada beberapa bulan, seolah kita terjebak pada rutinitans yang aneh. Tapi setelah beberapa tahun, hal itu pun menjadi bagian dari diriku dan aku menikmatinya. Menikmati pagi yang senyap adalah bagian hidup yang unik, dan aku masuk pada kesenyapan itu sendiri.

Seperti hari –hari di masa lalu, aku membukakan jendelamu. Tapi kamu tak seperti biasanya. Kamu tak membuka mata, bahkan memberikan respon gerakan saja tidak. Kamu diam saja, seperti sudah tidak ada lagi di dunia ini. Kupanggil namamu, terus kupanggil –panggil. Kurenggut tanganmu, dan kupanggil lagi. Walaupun aku tahu bahwa saatmu sudah tiba, tapi aku merasa bahwa mungkin kamu akan segera kembali jika kupanggil terus.  Aku tahu nafasmu sudah tak terasa, tapi aku pikir kamu hanya mengolokku saja.

Lalu aku  berdiri di jendela, memperhatikan sisa hujan di pagi yang tenang. Lihatlah, hujanpun bahkan mengiringimu. Apakah para malaikat sekarang tengah menyambutmu? Andai aku bisa melihatnya.

Yah, pergilah dengan tenang dan damai. Itu saja yang bisa kulakukan. Karena itu pasti yang terbaik untukmu, sebagaimana yang Tuhan inginkan. Dia sayang padamu. Jadi aku tidak takut, dan tidak punya sisa kesedihan atau tangis lagi. Pergimu adalah hal terbaik bagimu. Kau tak perlu lagi memaksakan diri bertahan. Kadang yang terbaik adalah pasrah. Sudah cukup waktu kita. Karena kamu tak akan pernah benar –benar pergi. Sebab kamu ada dalam hatiku. Kamu abadi adanya. (diselesaikan 05 Nop 09)

 

12 thoughts on “A b a d i

  1. –Lumiere–
    benarkah? hm, unik yang mananya ya ? 😀

    –mas j–
    halah, masa? tapi menyedihkan banget, kok bisa ngiri sih 😕

    –desti–
    aiih…makasih ya des ^_^

    Like

  2. Kadang yang terbaik adalah pasrah. Sudah cukup waktu kita. Karena kamu tak akan pernah benar –benar pergi. Sebab kamu ada dalam hatiku. Kamu abadi adanya.

    T_T ga mampu comment lagi dah 😦

    Like

  3. *baca komen almas*
    sabar ya Nak..

    @ empu blog
    kenapa kemarin kau menyangkalnya nona? 😈 sudahlah, sudah berkali kubilang instinkku ini bisa diandalkan 8)

    *menyadari sesuatu*
    😯
    apa-apaan itu blogroll! ganti!! ini perintah!!! 👿 atau… atau… atau apa yah 🙄 *msh mempertimbangkan “ganjaran” yang pas* 😕

    Like

  4. –lambang–
    kita tak akan pernah tau kan? disitulah seninya hidup 😉

    –almascatie–
    jangan bersedih gitu dong…. semangat!!!

    –zephyr–
    hmhm….*bernafas* ^^

    –lumiere–
    hm? sangkalan yang manakah gerangan, puan? :mrgreen:
    haeh..emang knp dengan blogroll itu? ada yang salahkah ? 😕
    errr~~~ ganjaran? what’s the matter ? 😕

    :mrgreen:

    Like

  5. –gembel–
    sy sendiri tidak merasa aneh. tapi apa yang tertangkap di cerpen ini begitu ya? 😀
    tapi terima kasih… ^^

    –mbak ira–
    hehe…makasih mbak udah baca cerpen ini..akhirnya mbak dateng juga kesiniiii xD

    Like

Leave a reply to Lumiere Cancel reply