Khayalan

Saya selalu berkhayal, bahwa sebelum saya mati –entah kapan itu, saya ingin bisa melihat dunia menjadi lebih baik. Bahkan tak hanya melihat, tapi terlibat dalam proses perbaikan itu.

Duduk di depan meja, menulis banyak hal, memikirkan cara –cara terbaik untuk bisa melanjutkan hidup, dan melakukan banyak hal yang bisa dirasakan oleh orang lain manfaatnya. Sekecil apapun. Tapi tanpa kepulan asap rokok. Mudah –mudah tidak mengurangi visualisasi patriotisme ala sastrawan, ha!

Tidak. Saya tidak mau hanya duduk saja, dan menulis.

Lalu, dunia yang lebih baik itu seperti apa? Dan darimana saya bisa memulainya?

Tiap orang punya cara dan suara –suara sendiri. Tergantung kita mau melakukannya seperti apa; bergabung dengan manusia –manusia yang bervisi membuat dunia lebih baik, atau mencari cara sendiri dalam melakukannya.

Dunia yang lebih baik? Yah. Misalnya kita tidak melihat lagi anak jalanan yang terlunta –lunta di pinggir jalan, mengemis atau mengamen. Atau tidak melihat lagi manusia yang menjadi sangat antusias mengumpulkan uang untuk dirinya sendiri saat sudah menjadi pemimpin –dari level bawah sampai level paling tinggi.

Ada suatu momen yang tak saya lupakan, dua tahun kemarin saya baru pulang kerja di bawah guyuran hujan. Saya memakai payung, berjalan sendirian melewati jalan kompleks yang sepi. Saat asyik melihat cipratan air di kaki, saya dikejutkan dengan suara memelas di belakang. Saat saya menoleh, saya melihat 2 orang anak kecil menengadahkan tangan sambil berkata “teh saya lapar. Minta uang teh. Belum makan…”mereka menggigil di bawah guyuran hujan.

Saya berpikir. Hei, sudah sampai dimana saya?

Sambil memikirkan dunia yang lebih baik, sambil sibuk mengurusi diri sendiri, sibuk mengumpulkan uang untuk kepentingan diri sendiri agar bisa bertahan hidup sampai besok. Memikirkan baju apa yang nanti akan dibeli, memikirkan kosmetik yang sudah menipis, ini –itu.

Sibuk saja memikirkan diri sendiri.

Kadang lupa pada tawa anak kecil yang dulu sering berlari –lari mendatangi saya dan memeluk saya sampai nyaris gepeng “ibuuu !”.  Para anak –anak yang lebih beruntung, karena di sekolah lah saya bisa menemukan mereka. Sementara ada banyak yang tidak.

Walaupun sekarang sedikit terobati dengan mendengarkan dan bertemu ibu –ibu, mbak –mbak, atau bapak –bapak yang berjumpa di pasar, nasabah di tempat saya kerja, dan menceritakan kehidupan mereka. Saya berpikir lagi, apakah saya benar –benar bisa mengusahakan mereka untuk tidak terjerat para rentenir? Apakah apa yang saya usahakan sekarang membuat kelapangan bagi mereka atau sama saja?

Seringnya, bekerja hanyalah bekerja. Semua berakhir dalam hitungan gaji atau kewajiban yang sudah ditunaikan. Hidup untuk diri sendiri saja. Saya hanya bisa memikirkan dunia yang lebih baik itu, terseok –seok untuk bisa mewujudkannya. Ah, sudahkah saya menuju ke sana?

Dulu saya berpikir, dalam komunitas yang mengusung tema perbaikan peradaban dan dunia secara keseluruhan –penguasaan dunia secara global, saya harus berada diantara mereka dan menjadi salah satu yang menjadi penguasanya. Tetapi, sekarang, siapapun yang mewujudkan itu –menciptakan dunia yang lebih baik, alangkah bagus bila saya ikut berpartisipasi, tapi saya tak akan menyesal walaupun tak bisa melihatnya langsung. Siapapun itu, tak menjadi masalah. Setidaknya, generasi setelah saya diwarisi kondisi yang lebih baik, baik saya sempat melihatnya ataupun tidak.

[Bandung, 25 Oktober 2010]

One thought on “Khayalan

Leave a comment