Mie Aceh

Pada suatu hari, ketika sedang bermotor -ria (sebenarnya saya hanya dibonceng saja, seperti biasa) menuju kosan, saya melewati sebuah cafe kecil di pinggir jalan yang selalu sepi setiap saya lewati. Ya. Nama tempat makan itu adalah Mie Aceh. Dan sudah tentu menu utamanya adalah mie yang katanya dimasak dengan bumbu dan rasa khas Aceh. benarkah demikian? Sebagai penikmat kuliner, saya tidak sabar ingin mencoba mampir ke sana. Dan kebetulan kawan saya pun mengamininya. Kami pun meluncur ke tempat makan tersebut.

Pertama -tama, kami bingung memilih menu. Namanya sih sudah betul, Mie Aceh, karena menu utama di sana adalah mie goreng aceh. Terus apalagi? ternyata tidak ada lagi. Ya cuma satu menu itu. Yang lainnya merupakan makanan biasa yang bisa kita dapatkan dari warung mana saja. Kedua, minuman khas bernama teh tarek. Saya deg -degan, minuman apa pula ini?

Kami pun memesan mie goreng aceh dan teh tarek. Setelah melihatnya, barulah saya menyadari satu hal; ya ampun, ini porsi sepertinya buat laki -laki ! Dengan piring super gede dan bumbu yang ‘kolonyoh’ (sangat berminyak) bisa dipastikan rasanya…. ahem, ya gimana ya… Kawan saya sampai geleng -geleng kepala dan membayangkan bahwa nantinya sebagian dari mie itu akan masuk tong sampah karena tidak muat di perutnya.

Bentuk mie -nya tidak seperti mie yang biasa kita masak. Tapi besar -besar dan panjang. Wah, mie raksasa !!! Saat saya mulai memakannya, ada semacam rasa aneh di sana. Rasa yang tidak biasa, dan yah…sangat berminyak. Bumbunya mungkin bagi saya terlalu lekat sehingga beberapa suap saja membuat saya merasa mulai enek. Tapi berhubung saya sangat lapar, maka bantai saja !!!

Setengah jam kemudian kawan saya sudah menyerah, dan setengah porsinya dia biarkan begitu saja. Dia malah menyemangati saya untuk menghabiskan mie itu. Saya sebetulnya sudah sangat enek, tapi karena sayang kalau makanan itu menjadi mubazir, saya paksakan telan perlahan -lahan saja. Saya lupa bahwa setelah makan mie itu, saya memesan teh tarek yang porsinya berada diluar bayangan saya.

Teh tarek disajikan dengan gelas yang super gede dan tinggi sangat. Saya sampai merinding melihatnya karena perut sudah tidak kuat menampung makanan. Bentuk teh tarek serupa air susu coklat. Kata kawan saya, itu adalah teh khas aceh, teh tapi dicampur semacam susu dan rempah -rempah, dan entah apalah.

Saya coba mencicipinya, dan yah, rasanya…agak aneh. Dengan aroma yang aneh pula, hm, semacam aroma yang tidak saya kenal. Mustinya teh itu bisa saya minum habis andai perut saya tidak dijejali mie aceh tadi. Ada semacam rasa kesat yang membuat saya tersendat meminumnya. Saya pun menyerah. Teh itu hanya saya minum setengahnya saja.

Sesudahnya, saya benar -benar tak bisa bergerak karena rasa enek yang luar biasa. Sepertinya saya tidak terbiasa dan tidak terlalu cocok dengan jenis masakan tersebut. Saya ragu untuk bisa memakannya lagi nanti.

Tapi, bisa merasakan beraneka ragam kuliner dari daerah yang berbeda merupakan kesenangan tersendiri. Saya ingin mencicipi lebih banyak lagi masakan yang berbeda dari daerah yang berbeda.

Terima kasih kepada sang kawan yang sudah menemani saya berpetualang ke aceh, hehe. Lain kali, kita berpetualang ke daerah lain ya.

Dan inilah oleh -olehnya. Selamat menikmati.

7 thoughts on “Mie Aceh

  1. -frea–
    iya, teh tarek tuh teh tarik, ga enak ih, enek

    –mas baju–
    iya ganti theme, gnati suasana hati hehe
    iya saya jg kurang suka mie aceh.
    sy jarang ol karena sok sibuk biasalaaah…kompinya di bawa adek.. ^^

    Like

  2. Maklum aja bukan orang Aceh jadi lidahnya gak cocok dengan mie Aceh 😀
    Klau saya sangat suka mie Aceh. tapi klau di Aceh bukan mie Aceh nmanya tapi mie goreng, truzz ada mie goreng basah, kenak ujan kali ya sampek basah hehe

    Like

Leave a comment